🍀 BERBEKAL KEYAKINAN
Syaikh Fathul Mushili ra bercerita,
Suatu hari ketika sedang berjalan di padang Sahara, seorang pemuda berjalan di dekatku dan lisannya tak berhenti berdzikir, padahal ia belumlah genap berusia baligh. Aku pun mengucapkan salam kepadanya dan ia menjawab salamku.
Lantas aku bertanya kepadanya,
“Hendak kemana engkau, wahai anak muda?”
“Ke Baitullah,” jawabnya.
“Apa yang sedang engkau baca?” tanyaku.
“Al Qur’an,” jawabnya.
“Bukankah engkau belum baligh dan belum mendapat catatan dosa?” ucapku.
“Kusaksikan kematian merenggut nyawa orang yang jauh muda dariku, maka kusiapkan bekal untuk menyambutnya” jawabnya.
“Langkahmu pendek sedangkan jalan yang engkau tampung sangat jauh” ujarku.
“Tugasku melangkahkan kaki, Allah lah yang akan menyampaikannya” jawabnya.
“Mana bekalmu dan kendaraanmu?” tanyaku.
“Bekalku adalah keyakinanku adapun kendaraanku adalah harapanku” jawabnya.
“ yang ku maksud bukan itu, apakah engkau tidak membawa roti maupun air?” tanyaku keheranan.
“Duhai paman, bukankah menurutmu sangat tidak pantas ketika salah seorang teman atau saudaramu mengundangmu ke rumahnya untuk sebuah jamuan lantas engkau membawa bekal?” ucapnya.
“Benar, hal itu sangat tidak sopan,” jawabku .
“Sesungguhnya Tuan ku (Allah) telah mengundang hamba-hambaNya kerumahNya . Dia telah mengizinkan mereka untuk mengunjungi rumahNya . Sayangnya keyakinan mereka lemah, sehingga mereka membawa bekal dalam perjalanannya. Menurutku hal semacam itu adalah sangat tidak sopan kepada Allah dan aku tidak ingin memiliki adab yang buruk kepada Allah. Menurutmu apakah Allah akan menyia-nyiakanku?” tegasnya.
“Tidak! tidak mungkin Allah menyia-nyiakanmu!” jawabku.
Pemuda itu mempercepat langkah kakinya dan tak lama kemudian ia lenyap dari pandanganku dan aku baru melihatnya kembali setibanya di Mekah.
Ketika melihatku, ia berkata, “Wahai orangtua, apakah engkau masih dalam keyakinanmu yang lemah itu?
📚Sumber ::
Syihabuddin Muhammad Bin Ahmad, Al-Mustatfharf Fi Kulli Fannin Mustathdhrof, Darul Ma’rifah, Beirut Lebanon,2008.
___
Syaikh Fathul Mushili ra bercerita,
Suatu hari ketika sedang berjalan di padang Sahara, seorang pemuda berjalan di dekatku dan lisannya tak berhenti berdzikir, padahal ia belumlah genap berusia baligh. Aku pun mengucapkan salam kepadanya dan ia menjawab salamku.
Lantas aku bertanya kepadanya,
“Hendak kemana engkau, wahai anak muda?”
“Ke Baitullah,” jawabnya.
“Apa yang sedang engkau baca?” tanyaku.
“Al Qur’an,” jawabnya.
“Bukankah engkau belum baligh dan belum mendapat catatan dosa?” ucapku.
“Kusaksikan kematian merenggut nyawa orang yang jauh muda dariku, maka kusiapkan bekal untuk menyambutnya” jawabnya.
“Langkahmu pendek sedangkan jalan yang engkau tampung sangat jauh” ujarku.
“Tugasku melangkahkan kaki, Allah lah yang akan menyampaikannya” jawabnya.
“Mana bekalmu dan kendaraanmu?” tanyaku.
“Bekalku adalah keyakinanku adapun kendaraanku adalah harapanku” jawabnya.
“ yang ku maksud bukan itu, apakah engkau tidak membawa roti maupun air?” tanyaku keheranan.
“Duhai paman, bukankah menurutmu sangat tidak pantas ketika salah seorang teman atau saudaramu mengundangmu ke rumahnya untuk sebuah jamuan lantas engkau membawa bekal?” ucapnya.
“Benar, hal itu sangat tidak sopan,” jawabku .
“Sesungguhnya Tuan ku (Allah) telah mengundang hamba-hambaNya kerumahNya . Dia telah mengizinkan mereka untuk mengunjungi rumahNya . Sayangnya keyakinan mereka lemah, sehingga mereka membawa bekal dalam perjalanannya. Menurutku hal semacam itu adalah sangat tidak sopan kepada Allah dan aku tidak ingin memiliki adab yang buruk kepada Allah. Menurutmu apakah Allah akan menyia-nyiakanku?” tegasnya.
“Tidak! tidak mungkin Allah menyia-nyiakanmu!” jawabku.
Pemuda itu mempercepat langkah kakinya dan tak lama kemudian ia lenyap dari pandanganku dan aku baru melihatnya kembali setibanya di Mekah.
Ketika melihatku, ia berkata, “Wahai orangtua, apakah engkau masih dalam keyakinanmu yang lemah itu?
📚Sumber ::
Syihabuddin Muhammad Bin Ahmad, Al-Mustatfharf Fi Kulli Fannin Mustathdhrof, Darul Ma’rifah, Beirut Lebanon,2008.
___
Komentar
Posting Komentar